Selasa, 01 November 2011

Lucid *cerpen02*

Diposting oleh PuchE_vIEMoE di 04.32 0 komentar

”Ish, aku jemput sebentar lagi. Tunggu di tempat biasa ya,” suara Nara terdengar dari telepon genggam Ishka. Seperti biasa, saat jam makan siang, Nara akan menjemputnya bersama Anne untuk makan siang di kafe langganan mereka.
Ishka menggeleng pelan tanpa melepas pandangannya dari layar monitor komputernya.
“Maaf, hari ini tidak bisa. Deadline untuk majalah edisi depan sudah dekat, aku berencana untuk menyelesaikannya hari ini juga. Mungkin sampai lembur.”
Hening sejenak. Ishka bisa mendengar suara Anne bertanya pada Nara.
”Tapi kau harus tetap makan, ingat maag-mu.”
”Iya, aku sudah pesan sesuatu. Lagipula, begini lebih baik kan? Kalian jadi punya waktu untuk berdua saja,” kata Ishka setengah menggoda, walaupun sebenarnya dia tidak suka mengatakan hal itu.
”Ish?”
”Hmm?”
”Kalau kau tidak suka bekerja di tempat itu, kenapa tidak berhenti saja?”
Ishka mengalihkan matanya dari layar. Nara tahu Ishka tidak suka dia bekerja di tempatnya bekerja sekarang, sebuah perusahaan penerbit majalah wanita yang cukup populer. Namun dia tidak tahu apa alasannya. Dan Ishka juga tidak pernah bertanya.
”Aku suka kerja di sini.”
Hening lagi.
”Baiklah, aku telepon lagi sebelum kau pulang.”
”Eh, tidak usah, Nara…..” Belum sempat Ishka menyelesaikan kalimatnya, terdengar bunyi tuuuuut panjang. Nara menutup teleponnya.
Ishka menghembuskan napas panjang. Membayangkan dirinya meniup pelan-pelan segelas teh hangat yang digenggamnya, tersenyum mendengar cerita Anne tentang murid-murid di playgroup tempatnya bekerja, sambil menatap cermin besar yang berada di seberang tempat mereka biasa duduk dan memperhatikan Nara yang duduk di hadapannya. Hanya itu yang bisa dilakukan Ishka, memperhatikan bayangan laki-laki yang dikenalnya sejak kanak-kanak itu terpantul di cermin.
Bayangan itu buyar seketika saat Ishka teringat kembali tugas yang harus diselesaikannya. Layout untuk edisi depan yang sedari tadi dipelototinya tinggal menunggu finishing saja. Sudah dua kali Mbak Luna, koordinator bagian artistik tempat Ishka bergabung, merevisi rancangan yang diajukannya. Wanita yang jarang menampakkan ekspresi itu mengatakan Ishka tidak paham konsep dari majalah ini. Ishka tidak mengerti apa maksudnya.
Terlalu lama di depan komputer membuat matanya lelah. Dia berhenti sejenak untuk menutup mata dan memijit pangkal hidungnya. Ishka membuka mata, pandangannya terlihat kabur. Mungkin matanya masih lelah, pikirnya. Dipejamkan kembali kedua matanya untuk sesaat.
Saat Ishka berniat kembali meneruskan pekerjaannya, ia terkejut karena menyadari sepasang mata mengawasinya. Seorang gadis kecil yang kira-kira berumur belasan tahun muncul dari balik mejanya. Gadis itu tersenyum pada Ishka sambil menggoyang-goyangkan badannya. Rambut panjangnya yang dikuncir dua dan diikat dengan pita merah ikut bergoyang bersamanya.
”Adik cari siapa?”
Gadis itu tidak menjawab, dia hanya tersenyum menatap Ishka sambil terus mengoyang-goyangkan badannya.
”Tersesat?” tanya Ishka lagi.
Gadis itu tetap tersenyum tanpa berkata apapun. Ishka menggeser kursinya mendekatinya.
”Nama Kakak, Ishka. Namamu siapa?”
”Pia. Salam kenal, Kak Ishka.” Akhirnya keluar sebaris kata dari bibir yang tidak berhenti tersenyum tersebut.
Gadis itu mengintip layar monitor di depan Ishka.
”Kak Ishka sedang sibuk?”
”Ah, tidak, kok. Ini sudah hampir selesai.”
”Kalau begitu, Kakak bisa bantu Pia?” Dia kembali menatap Ishka sambil tetap tersenyum. “Pia kehilangan sesuatu. Tolong bantu Pia mencarinya.”
I
shka terdiam sejenak. Matanya bergantian menatap gadis kecil bermata lebar itu dan pekerjaannya yang hampir rampung. Ishka menarik napas dalam kemudian menghembuskannya pelan. Dia balas tersenyum. Lagipula dia butuh istirahat sejenak.
”Boleh. Kita cari sekarang?”
Gadis itu tersenyum semakin lebar. Ishka beranjak dari kursinya kemudian menggenggam tangannya dan mereka berdua berjalan menyusuri deretan meja yang hingar bingar oleh kesibukan penghuninya.
”Apa yang hilang, Pia?” Ishka mengokuti gadis itu mengintip di kolong meja seseorang.
”Sesuatu yang paling Pia sukai.”
”Apa itu?”
”Nanti kalau sudah ketemu, Kakak juga akan tahu.” Gadis itu menatap Ishka dengan mata berbinar dan senyum yang sama.
Setelah tidak menemukan apa yang dicari di ruangan itu, mereka keluar menyusuri lorong. Ishka masih menggandeng tangan gadis itu. Mereka mencari di beberapa ruangan di sepanjang lorong itu. Sebenarnya, gadis kecil itu yang mencari. Ishka hanya mengikutinya karena dia tidak tahu apa yang mereka cari.
”Benda itu pemberian seseorang? Orang tua Pia, ya?”
”Bukan, dari seorang teman.”
Selama hampir dua tahun bekerja di tempat itu, rasanya baru kali ini Ishka melihat ruangan-ruangan yang kini dijelajahinya bersama Pia.
”Pia datang kemari bersama Mama. Mama Pia bekerja di sini.”
”Oya? Siapa nama Mama Pia? Mungkin Kakak kenal?”
”Suatu hari nanti, Pia juga ingin bekerja di sini,” gadis itu berkata tanpa menjawab pertanyaan Ishka. ”Kak Ishka suka bekerja di sini?”
Mereka berdua sampai di depan ruangan paling ujung dari lorong itu.
”Hmm, iya, Kakak suka. Sebenarnya Kakak suka menggambar. Kadang-kadang Kakak membuat ilustrasi untuk beberapa artikel.”
Ishka membuka pintu ruangan itu. Gelap, sekilas terlihat deretan rak-rak di sepanjang dinding. Ishka baru akan melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu ketika ia merasakan gadis kecil itu menarik tangannya.
”Tidak ada di sini.”
Ishka mengikuti gadis itu yang setengah menyeretnya kembali ke tempat di mana mereka pertama bertemu, ruangan di mana ia bekerja.
”Eh, kita sudah mencari di sini, ’kan?”
Mereka berhenti di depan meja kerja Ishka. Komputer di atas meja tersebut masih menyala seperti ketika Ishka meninggalkannya tadi. Beberapa tumpukan buku dan kertas serta peralatan tulis setengah berantakan bertengger di atas meja.
”Di sini belum.” Gadis itu melongok ke kolong meja. Ishka mengikuti di belakangnya.
”Masak ada di sini? Memangnya barang Pia yang hilang itu apa?”
Gadis itu terlihat mengambil sesuatu dari sudut bawah meja yang gelap kemudian mendekapnya. Dia berbalik menatap Ishka masih dengan senyum mengembang.
Ishka memperhatikan benda yang ada di tangan Pia, sebuah buku sketsa bersampul warna merah muda yang terlihat sudah pudar. Sejurus kemudian, gadis itu menyodorkannya pada Ishka. Dia menerima buku itu dan membaca tulisan di sampulnya yang sepertinya ditulis tangan dengan pensil warna.
Nama: Ishka. Umur: 10 tahun. Alamat: …
Ishka terkejut mengetahui bahwa ia sangat mengenal buku sketsa tersebut. Dia membuka halaman demi halaman buku itu. Buku sketsa yang dimilikinya ketika masih di sekolah dasar. Di buku itu dia menggambar dan menulis sebuah cerita anak-anak. Ishka teringat kembali cita-citanya untuk menerbitkan buku cerita anak bergambar karangannya sendiri. Tokoh utama dari cerita bergambar yang pertama dibuatnya itu adalah seekor kelinci berwarna merah muda yang memakai pita merah di kedua telinganya. Nama kelinci itu Pia.
Ishka tertegun menyadari siapa gadis kecil yang mengaku bernama Pia yang saat ini berdiri di hadapannya. Gadis itu balas tersenyum penuh arti padanya.
”Pia suka cerita ini,” katanya kemudian berlari menghilang meninggalkan Ishka.
Ishka masih berdiri mematung berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi ketika tiba-tiba dering telepon selulernya mengagetkannya. Buku itu terjatuh dari tangannya.
Ishka tersentak kaget. Rupanya dia baru saja terbangun dari tidur. Lehernya terasa sakit dan tegang karena dia tertidur di atas meja di depan komputernya yang masih menyala. Ishka memandang berkeliling ruangannya. Masih ada beberapa orang yang terlihat sibuk di meja masing-masing dan beberapa terlihat mondar-mandir seperti sedang terburu-buru.
Ketika mencoba membetulkan posisi duduknya, kakinya terantuk sesuatu. Buku sketsa bersampul merah muda miliknya. Ishka teringat kembali mimpinya barusan. Masih setengah termenung, ia menyadari telepon selulernya berdering sedari tadi. Dari Nara.
”Sudah selesai? Aku jemput.”
”Eh?” Ishka mengalihkan matanya pada layar monitor di hadapannya. Kemudian matanya beralih kembali pada buku yang ada di tangannya. Senyum Ishka mengembang.
”Nara, masih ingat Pia?” Ishka teringat dia pernah menunjukkan buku sketsa itu pada Nara ketika mereka sama-sama di sekolah menengah.
Sesaat tidak ada balasan dari suara di seberang.
”Iya. Pia teman kita di sekolah dasar. Dulu kalian sangat dekat kan?”
”Eh?” Ishka tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Nara. Yang dia maksudkan sebenarnya adalah Pia, tokoh utama cerita anak-anak yang ditulisnya.
”Kau pernah menunjukkan buku cerita bergambar karanganmu yang kau buat di sekolah dasar, tentang seekor kelinci bernama Pia. Tapi ketika aku tanya darimana kau mendapat ide tentang cerita itu, kau bilang tidak ingat. Jadi, aku pikir kau sudah lupa dengan anak itu.”
Kepala Ishka terasa pening dan berputar-putar. Sekelebat bayangan muncul tiba-tiba memenuhi ingatannya.
Nara berbicara lagi.
”Apa kau juga ingat, di sekolah dasar, kita pernah mendapat tugas untuk maju dan bercerita tentang cita-cita kita ketika dewasa?”
Ishka ingat itu. Itu pertama kalinya ia menunjukkan buku sketsa itu pada orang lain.
”Kau bercerita ingin menerbitkan buku cerita anak bergambar yang kau buat dan menunjukkan buku itu di depan kelas. Sedangkan Pia, berkata ingin menjadi seperti ibunya yang bekerja sebagai seorang editor di sebuah majalah wanita,” sambung Nara.
”Aku masih ingat karena waktu itu kau semangat sekali bercerita dan kurasa itu pertama kalinya kita mendengar kata ’editor’.” Ishka bisa mendengar suara tawa kecil milik Nara.
Sekarang Ishka bisa mengingat semuanya. Buku sketsa itu, kelinci yang memakai pita merah, gadis kecil bernama Pia, dan kecelakaan sepulang sekolah yang mereka alami.
”Kurasa kau juga ingat, Ibu Pia bekerja di tempat yang sama denganmu sekarang.”
Ishka terdiam.
”Karena itu, kupikir alasanmu tetap bertahan bekerja di tempat itu adalah karena Pia.” Kali ini suara Nara terdengar pelan.
Ishka merasakan sesuatu menyelimuti dadanya. Bukan hanya karena kenangannya akan Pia, tapi juga karena kata-kata laki-laki yang berbicara dengannya sekarang.
”Nara?”
”Hmm?”
”Terima kasih.”
Terima kasih juga, Pia.

Sendiri *cerpen01*

Diposting oleh PuchE_vIEMoE di 04.30 0 komentar

Matahari pagi mulai memasuki celah-celah jendelaku. Matahari yang kian bersinar membuat hari-hari menjadi indah dan bermakna. Aku Rasti, seorang mahasiswi desain grafis di salah satu universitas swasta di Jakarta. Aku punya keluarga yang harmonis. Setiap hari keluargaku menyempati untuk bersama. Aku bangga sekali dengan keluargaku. Aku punya keluarga yang selalu mengerti dan demokratis dan juga beragama. Walaupun hidupku sederhana tapi aku merasa hidupku selalu indah dan lebih dari kesederhanaan yang aku punya.
Rutinitas hari-hariku, seperti biasa pagi-pagi berangkat ke kampus untuk memenuhi kewajibanku sebagai seorang mahasiswi. Dan pulang pada sore hari. Begitulah kegiatan ku! Bila libur aku menyempatkan waktu luang untuk keluarga dan teman-teman. Tapi bukan untuk pacar. Karena aku memang tak punya seorang yang spesial dalam hidupku, setelah dua tahun pisah dengan kekasihku. Dulu aku berpikir hidup ini indah bila ada seorang hadir di sampingku tapi nyatanya aku lebih senang, nyaman, indah bila yang menemaniku adalah keluarga dan teman-teman terbaikku. Mungkin aku juga egois mengapa aku tak pernah membuka hati ini untuk seseorang dan tak pernah untuk mencoba menerima seseorang lagi. Dan aku berpikir, hal itu mungkin akan bahagia sesaat karena perjalanan hidupku masih panjang. Oleh karena itu, saat ini aku hanya ingin menyenangkan keluarga ku dulu, sampai pada waktunya aku harus membuka hati ini kepada orang yang sangat tepat.
Tahun demi tahun berganti dan dilalui bulan yang terus berganti, dan searahnya jalannya waktu. Aku menjalani hidup dengan semua rutinitas. Sampai pada akhirnya seorang temanku bertanya.
“Uda hampir lebih dari dua tahun tapi kok lo masih ga mau membuka hati untuk sesorang lagi sih! Ras, semua orang ga sama. Mereka mempunyai sifat yang beda, mungkin pada waktu itu lo dipisahkan karena memang bukan jodoh yang Tuhan kasih buat lo. Lo jangan pernah berpikir semua laki-laki itu sifatnya sama, Ras.”
Ketika aku mendengar petuah-petuah dari teman-temanku. Aku memang menyadari betapa egoisnya aku.
Sampai suatu saat, aku mencoba nasehat-nasehat yang teman-teman aku berikan.  Ketika itu, aku lagi makan sendirian di salah satu fast food terkenal. Hari itu memang full sekali, maklum hari itu adalah hari libur. Aku menempati meja untuk dua orang. Sebenarnya aku di situ bukan bermaksud untuk berkencan atau bertemu khusus untuk seseorang. Tapi memang aku ingin makan di luar dan sendirian saja.
Hujan lebat terus mengguyur daerah Bekasi. Aku menikmati spaghetti yang harumnya sudah menggoda perutku sambil melihat hujan turun di luar sana. Di saat aku memandang keluar, seseorang menyapaku meminta agar ia bisa duduk di depanku karena memang tempat yang disediakan sudah terisi.
“Maaf, boleh saya duduk di sini?”
“Oooh, boleh kok boleh. Silahkan,” jawab aku dengan terbata-bata.
Aku tercengang melihat laki-laki itu. Langsung dia memperkenalkan dirinya. Dan menyodorkan tangan kanannya yang bergelang hitam putih ke hadapanku.
“Aku Ran, kamu siapa?”
“Aku Rasti,” jawabku cepat. Dan secepat aku melepas tanganku dari genggamannya.
“Maaf ya sebelumnya, aku tadi ga melihat tempat dulu jadi langsung aja aku pesan makanan, kirain aku masih ada tempat lagi. Eeeh, ternyata ga ada,” cerita Ran. “O ya, tapi tempat ini emang ga da yang nempatin kan? Atau memang kamu lagi menunggu seseorang ya? Maaf kalo iya, aku juga hanya sebentar kok. Kalau teman kamu sudah datang aku akan pergi,” tambah Ran.
“Oh ga kok! Aku emang lagi sendiri aja,” jawab singkat aku.
Entah mimpi apa aku semalam. Hari itu ada laki-laki tampan menghampiriku. Sempat ku mencuri pandang melihat wajah dia tanpa sepengetahuannya. Pertemuan itu cukup singkat, tapi entah mengapa, aku merasa ingin bertemu lagi dengannya. Perkenalan kita memang lancar-lancar aja, penuh canda tawa seperti sudah berkenalan lama saja. Sampai makanan kita sama-sama sudah habis, obrolan terus berlanjut.
Hujan sudah mulai mereda. Dan segera aku akhiri pertemuan itu karena aku harus cepat-cepat pulang karena masih banyak tugas kuliah yang belum diselesaikan.
”Sorry, kayanya hari ini obrolan kita sampai di sini dulu deh. Aku mau pulang karena masih banyak banget tugas yang harus diselesaikan! Kamu habis ini ga da kegiatan lagi?” tanya Rasti.
”Ga ada kok, habis ini aku langsung pulang. Oh iya, ga apa apa Ras, kamu pulang aja, selesaikan tugasnya yah! Hati-hati di jalan!” jawab Ran dengan senyumannya.
”OK. Thanks!” Kuraih tas ku yang ada di meja dan langsung meninggalkanfoodcourt tersebut. Belum sampai pintu keluar, terdengar suara yang memanggilku.
”Tunggu Ras!” teriak Ran sambil melambaikan tangannya.
Duh, apa lagi sih nih. Ngapain dia manggil aku lagi. Apa ada barangku yang ketinggalan, pikirku dalam hati.
”Mmm, Ras, boleh ga bareng sampe parkiran?” tanya Ran dengan tersipu malu.
”Ya ampuun Ran, kirain aku kenapa. Ya boleh lah. Yuk, sekalian. Aku juga mau ke parkiran”.
Akhir pertemuan itu, ada sesuatu yang terlupa olehku. Aku lupa meminta nomer telepon agar bisa berhubungan lagi. Tapi apa mau dikata, ia sudah pergi jauh dari hadapanku. Aku hanya berharap bertemu dia lagi.
Hatiku juga merasa aneh, kenapa begitu cepat aku merasakan getaran ini. Getaran yang sudah hampir dua tahun, aku tak merasakannya. Apa aku segampang ini menyukai seseorang? Ataukah ini adalah love at first sight? Entahlah aku tak tahu. Aku hanya menjalani saja perasaan ini. Kalau memang dia untukku, aku yakin pasti dipertemukan kembali. Kalau tidak, ya sudah. Pertemuan itu menjadi sebuah kenanganku di kesendirian tengah derasnya hujan.
Lagi-lagi rutinitas membuatku lupa akan segala hal yang dahulu terjadi. Aku pun mulai melupakan peristiwa singkat itu. Aku hanya ingin menjalani hidup ini dengan lurus-lurus saja. Bila memang aku sudah waktunya diberikan jodoh sama Tuhan, pasti aku tak akan mengelaknya.

Selasa, 01 November 2011

Lucid *cerpen02*

Diposting oleh PuchE_vIEMoE di 04.32 0 komentar

”Ish, aku jemput sebentar lagi. Tunggu di tempat biasa ya,” suara Nara terdengar dari telepon genggam Ishka. Seperti biasa, saat jam makan siang, Nara akan menjemputnya bersama Anne untuk makan siang di kafe langganan mereka.
Ishka menggeleng pelan tanpa melepas pandangannya dari layar monitor komputernya.
“Maaf, hari ini tidak bisa. Deadline untuk majalah edisi depan sudah dekat, aku berencana untuk menyelesaikannya hari ini juga. Mungkin sampai lembur.”
Hening sejenak. Ishka bisa mendengar suara Anne bertanya pada Nara.
”Tapi kau harus tetap makan, ingat maag-mu.”
”Iya, aku sudah pesan sesuatu. Lagipula, begini lebih baik kan? Kalian jadi punya waktu untuk berdua saja,” kata Ishka setengah menggoda, walaupun sebenarnya dia tidak suka mengatakan hal itu.
”Ish?”
”Hmm?”
”Kalau kau tidak suka bekerja di tempat itu, kenapa tidak berhenti saja?”
Ishka mengalihkan matanya dari layar. Nara tahu Ishka tidak suka dia bekerja di tempatnya bekerja sekarang, sebuah perusahaan penerbit majalah wanita yang cukup populer. Namun dia tidak tahu apa alasannya. Dan Ishka juga tidak pernah bertanya.
”Aku suka kerja di sini.”
Hening lagi.
”Baiklah, aku telepon lagi sebelum kau pulang.”
”Eh, tidak usah, Nara…..” Belum sempat Ishka menyelesaikan kalimatnya, terdengar bunyi tuuuuut panjang. Nara menutup teleponnya.
Ishka menghembuskan napas panjang. Membayangkan dirinya meniup pelan-pelan segelas teh hangat yang digenggamnya, tersenyum mendengar cerita Anne tentang murid-murid di playgroup tempatnya bekerja, sambil menatap cermin besar yang berada di seberang tempat mereka biasa duduk dan memperhatikan Nara yang duduk di hadapannya. Hanya itu yang bisa dilakukan Ishka, memperhatikan bayangan laki-laki yang dikenalnya sejak kanak-kanak itu terpantul di cermin.
Bayangan itu buyar seketika saat Ishka teringat kembali tugas yang harus diselesaikannya. Layout untuk edisi depan yang sedari tadi dipelototinya tinggal menunggu finishing saja. Sudah dua kali Mbak Luna, koordinator bagian artistik tempat Ishka bergabung, merevisi rancangan yang diajukannya. Wanita yang jarang menampakkan ekspresi itu mengatakan Ishka tidak paham konsep dari majalah ini. Ishka tidak mengerti apa maksudnya.
Terlalu lama di depan komputer membuat matanya lelah. Dia berhenti sejenak untuk menutup mata dan memijit pangkal hidungnya. Ishka membuka mata, pandangannya terlihat kabur. Mungkin matanya masih lelah, pikirnya. Dipejamkan kembali kedua matanya untuk sesaat.
Saat Ishka berniat kembali meneruskan pekerjaannya, ia terkejut karena menyadari sepasang mata mengawasinya. Seorang gadis kecil yang kira-kira berumur belasan tahun muncul dari balik mejanya. Gadis itu tersenyum pada Ishka sambil menggoyang-goyangkan badannya. Rambut panjangnya yang dikuncir dua dan diikat dengan pita merah ikut bergoyang bersamanya.
”Adik cari siapa?”
Gadis itu tidak menjawab, dia hanya tersenyum menatap Ishka sambil terus mengoyang-goyangkan badannya.
”Tersesat?” tanya Ishka lagi.
Gadis itu tetap tersenyum tanpa berkata apapun. Ishka menggeser kursinya mendekatinya.
”Nama Kakak, Ishka. Namamu siapa?”
”Pia. Salam kenal, Kak Ishka.” Akhirnya keluar sebaris kata dari bibir yang tidak berhenti tersenyum tersebut.
Gadis itu mengintip layar monitor di depan Ishka.
”Kak Ishka sedang sibuk?”
”Ah, tidak, kok. Ini sudah hampir selesai.”
”Kalau begitu, Kakak bisa bantu Pia?” Dia kembali menatap Ishka sambil tetap tersenyum. “Pia kehilangan sesuatu. Tolong bantu Pia mencarinya.”
I
shka terdiam sejenak. Matanya bergantian menatap gadis kecil bermata lebar itu dan pekerjaannya yang hampir rampung. Ishka menarik napas dalam kemudian menghembuskannya pelan. Dia balas tersenyum. Lagipula dia butuh istirahat sejenak.
”Boleh. Kita cari sekarang?”
Gadis itu tersenyum semakin lebar. Ishka beranjak dari kursinya kemudian menggenggam tangannya dan mereka berdua berjalan menyusuri deretan meja yang hingar bingar oleh kesibukan penghuninya.
”Apa yang hilang, Pia?” Ishka mengokuti gadis itu mengintip di kolong meja seseorang.
”Sesuatu yang paling Pia sukai.”
”Apa itu?”
”Nanti kalau sudah ketemu, Kakak juga akan tahu.” Gadis itu menatap Ishka dengan mata berbinar dan senyum yang sama.
Setelah tidak menemukan apa yang dicari di ruangan itu, mereka keluar menyusuri lorong. Ishka masih menggandeng tangan gadis itu. Mereka mencari di beberapa ruangan di sepanjang lorong itu. Sebenarnya, gadis kecil itu yang mencari. Ishka hanya mengikutinya karena dia tidak tahu apa yang mereka cari.
”Benda itu pemberian seseorang? Orang tua Pia, ya?”
”Bukan, dari seorang teman.”
Selama hampir dua tahun bekerja di tempat itu, rasanya baru kali ini Ishka melihat ruangan-ruangan yang kini dijelajahinya bersama Pia.
”Pia datang kemari bersama Mama. Mama Pia bekerja di sini.”
”Oya? Siapa nama Mama Pia? Mungkin Kakak kenal?”
”Suatu hari nanti, Pia juga ingin bekerja di sini,” gadis itu berkata tanpa menjawab pertanyaan Ishka. ”Kak Ishka suka bekerja di sini?”
Mereka berdua sampai di depan ruangan paling ujung dari lorong itu.
”Hmm, iya, Kakak suka. Sebenarnya Kakak suka menggambar. Kadang-kadang Kakak membuat ilustrasi untuk beberapa artikel.”
Ishka membuka pintu ruangan itu. Gelap, sekilas terlihat deretan rak-rak di sepanjang dinding. Ishka baru akan melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu ketika ia merasakan gadis kecil itu menarik tangannya.
”Tidak ada di sini.”
Ishka mengikuti gadis itu yang setengah menyeretnya kembali ke tempat di mana mereka pertama bertemu, ruangan di mana ia bekerja.
”Eh, kita sudah mencari di sini, ’kan?”
Mereka berhenti di depan meja kerja Ishka. Komputer di atas meja tersebut masih menyala seperti ketika Ishka meninggalkannya tadi. Beberapa tumpukan buku dan kertas serta peralatan tulis setengah berantakan bertengger di atas meja.
”Di sini belum.” Gadis itu melongok ke kolong meja. Ishka mengikuti di belakangnya.
”Masak ada di sini? Memangnya barang Pia yang hilang itu apa?”
Gadis itu terlihat mengambil sesuatu dari sudut bawah meja yang gelap kemudian mendekapnya. Dia berbalik menatap Ishka masih dengan senyum mengembang.
Ishka memperhatikan benda yang ada di tangan Pia, sebuah buku sketsa bersampul warna merah muda yang terlihat sudah pudar. Sejurus kemudian, gadis itu menyodorkannya pada Ishka. Dia menerima buku itu dan membaca tulisan di sampulnya yang sepertinya ditulis tangan dengan pensil warna.
Nama: Ishka. Umur: 10 tahun. Alamat: …
Ishka terkejut mengetahui bahwa ia sangat mengenal buku sketsa tersebut. Dia membuka halaman demi halaman buku itu. Buku sketsa yang dimilikinya ketika masih di sekolah dasar. Di buku itu dia menggambar dan menulis sebuah cerita anak-anak. Ishka teringat kembali cita-citanya untuk menerbitkan buku cerita anak bergambar karangannya sendiri. Tokoh utama dari cerita bergambar yang pertama dibuatnya itu adalah seekor kelinci berwarna merah muda yang memakai pita merah di kedua telinganya. Nama kelinci itu Pia.
Ishka tertegun menyadari siapa gadis kecil yang mengaku bernama Pia yang saat ini berdiri di hadapannya. Gadis itu balas tersenyum penuh arti padanya.
”Pia suka cerita ini,” katanya kemudian berlari menghilang meninggalkan Ishka.
Ishka masih berdiri mematung berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi ketika tiba-tiba dering telepon selulernya mengagetkannya. Buku itu terjatuh dari tangannya.
Ishka tersentak kaget. Rupanya dia baru saja terbangun dari tidur. Lehernya terasa sakit dan tegang karena dia tertidur di atas meja di depan komputernya yang masih menyala. Ishka memandang berkeliling ruangannya. Masih ada beberapa orang yang terlihat sibuk di meja masing-masing dan beberapa terlihat mondar-mandir seperti sedang terburu-buru.
Ketika mencoba membetulkan posisi duduknya, kakinya terantuk sesuatu. Buku sketsa bersampul merah muda miliknya. Ishka teringat kembali mimpinya barusan. Masih setengah termenung, ia menyadari telepon selulernya berdering sedari tadi. Dari Nara.
”Sudah selesai? Aku jemput.”
”Eh?” Ishka mengalihkan matanya pada layar monitor di hadapannya. Kemudian matanya beralih kembali pada buku yang ada di tangannya. Senyum Ishka mengembang.
”Nara, masih ingat Pia?” Ishka teringat dia pernah menunjukkan buku sketsa itu pada Nara ketika mereka sama-sama di sekolah menengah.
Sesaat tidak ada balasan dari suara di seberang.
”Iya. Pia teman kita di sekolah dasar. Dulu kalian sangat dekat kan?”
”Eh?” Ishka tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Nara. Yang dia maksudkan sebenarnya adalah Pia, tokoh utama cerita anak-anak yang ditulisnya.
”Kau pernah menunjukkan buku cerita bergambar karanganmu yang kau buat di sekolah dasar, tentang seekor kelinci bernama Pia. Tapi ketika aku tanya darimana kau mendapat ide tentang cerita itu, kau bilang tidak ingat. Jadi, aku pikir kau sudah lupa dengan anak itu.”
Kepala Ishka terasa pening dan berputar-putar. Sekelebat bayangan muncul tiba-tiba memenuhi ingatannya.
Nara berbicara lagi.
”Apa kau juga ingat, di sekolah dasar, kita pernah mendapat tugas untuk maju dan bercerita tentang cita-cita kita ketika dewasa?”
Ishka ingat itu. Itu pertama kalinya ia menunjukkan buku sketsa itu pada orang lain.
”Kau bercerita ingin menerbitkan buku cerita anak bergambar yang kau buat dan menunjukkan buku itu di depan kelas. Sedangkan Pia, berkata ingin menjadi seperti ibunya yang bekerja sebagai seorang editor di sebuah majalah wanita,” sambung Nara.
”Aku masih ingat karena waktu itu kau semangat sekali bercerita dan kurasa itu pertama kalinya kita mendengar kata ’editor’.” Ishka bisa mendengar suara tawa kecil milik Nara.
Sekarang Ishka bisa mengingat semuanya. Buku sketsa itu, kelinci yang memakai pita merah, gadis kecil bernama Pia, dan kecelakaan sepulang sekolah yang mereka alami.
”Kurasa kau juga ingat, Ibu Pia bekerja di tempat yang sama denganmu sekarang.”
Ishka terdiam.
”Karena itu, kupikir alasanmu tetap bertahan bekerja di tempat itu adalah karena Pia.” Kali ini suara Nara terdengar pelan.
Ishka merasakan sesuatu menyelimuti dadanya. Bukan hanya karena kenangannya akan Pia, tapi juga karena kata-kata laki-laki yang berbicara dengannya sekarang.
”Nara?”
”Hmm?”
”Terima kasih.”
Terima kasih juga, Pia.

Sendiri *cerpen01*

Diposting oleh PuchE_vIEMoE di 04.30 0 komentar

Matahari pagi mulai memasuki celah-celah jendelaku. Matahari yang kian bersinar membuat hari-hari menjadi indah dan bermakna. Aku Rasti, seorang mahasiswi desain grafis di salah satu universitas swasta di Jakarta. Aku punya keluarga yang harmonis. Setiap hari keluargaku menyempati untuk bersama. Aku bangga sekali dengan keluargaku. Aku punya keluarga yang selalu mengerti dan demokratis dan juga beragama. Walaupun hidupku sederhana tapi aku merasa hidupku selalu indah dan lebih dari kesederhanaan yang aku punya.
Rutinitas hari-hariku, seperti biasa pagi-pagi berangkat ke kampus untuk memenuhi kewajibanku sebagai seorang mahasiswi. Dan pulang pada sore hari. Begitulah kegiatan ku! Bila libur aku menyempatkan waktu luang untuk keluarga dan teman-teman. Tapi bukan untuk pacar. Karena aku memang tak punya seorang yang spesial dalam hidupku, setelah dua tahun pisah dengan kekasihku. Dulu aku berpikir hidup ini indah bila ada seorang hadir di sampingku tapi nyatanya aku lebih senang, nyaman, indah bila yang menemaniku adalah keluarga dan teman-teman terbaikku. Mungkin aku juga egois mengapa aku tak pernah membuka hati ini untuk seseorang dan tak pernah untuk mencoba menerima seseorang lagi. Dan aku berpikir, hal itu mungkin akan bahagia sesaat karena perjalanan hidupku masih panjang. Oleh karena itu, saat ini aku hanya ingin menyenangkan keluarga ku dulu, sampai pada waktunya aku harus membuka hati ini kepada orang yang sangat tepat.
Tahun demi tahun berganti dan dilalui bulan yang terus berganti, dan searahnya jalannya waktu. Aku menjalani hidup dengan semua rutinitas. Sampai pada akhirnya seorang temanku bertanya.
“Uda hampir lebih dari dua tahun tapi kok lo masih ga mau membuka hati untuk sesorang lagi sih! Ras, semua orang ga sama. Mereka mempunyai sifat yang beda, mungkin pada waktu itu lo dipisahkan karena memang bukan jodoh yang Tuhan kasih buat lo. Lo jangan pernah berpikir semua laki-laki itu sifatnya sama, Ras.”
Ketika aku mendengar petuah-petuah dari teman-temanku. Aku memang menyadari betapa egoisnya aku.
Sampai suatu saat, aku mencoba nasehat-nasehat yang teman-teman aku berikan.  Ketika itu, aku lagi makan sendirian di salah satu fast food terkenal. Hari itu memang full sekali, maklum hari itu adalah hari libur. Aku menempati meja untuk dua orang. Sebenarnya aku di situ bukan bermaksud untuk berkencan atau bertemu khusus untuk seseorang. Tapi memang aku ingin makan di luar dan sendirian saja.
Hujan lebat terus mengguyur daerah Bekasi. Aku menikmati spaghetti yang harumnya sudah menggoda perutku sambil melihat hujan turun di luar sana. Di saat aku memandang keluar, seseorang menyapaku meminta agar ia bisa duduk di depanku karena memang tempat yang disediakan sudah terisi.
“Maaf, boleh saya duduk di sini?”
“Oooh, boleh kok boleh. Silahkan,” jawab aku dengan terbata-bata.
Aku tercengang melihat laki-laki itu. Langsung dia memperkenalkan dirinya. Dan menyodorkan tangan kanannya yang bergelang hitam putih ke hadapanku.
“Aku Ran, kamu siapa?”
“Aku Rasti,” jawabku cepat. Dan secepat aku melepas tanganku dari genggamannya.
“Maaf ya sebelumnya, aku tadi ga melihat tempat dulu jadi langsung aja aku pesan makanan, kirain aku masih ada tempat lagi. Eeeh, ternyata ga ada,” cerita Ran. “O ya, tapi tempat ini emang ga da yang nempatin kan? Atau memang kamu lagi menunggu seseorang ya? Maaf kalo iya, aku juga hanya sebentar kok. Kalau teman kamu sudah datang aku akan pergi,” tambah Ran.
“Oh ga kok! Aku emang lagi sendiri aja,” jawab singkat aku.
Entah mimpi apa aku semalam. Hari itu ada laki-laki tampan menghampiriku. Sempat ku mencuri pandang melihat wajah dia tanpa sepengetahuannya. Pertemuan itu cukup singkat, tapi entah mengapa, aku merasa ingin bertemu lagi dengannya. Perkenalan kita memang lancar-lancar aja, penuh canda tawa seperti sudah berkenalan lama saja. Sampai makanan kita sama-sama sudah habis, obrolan terus berlanjut.
Hujan sudah mulai mereda. Dan segera aku akhiri pertemuan itu karena aku harus cepat-cepat pulang karena masih banyak tugas kuliah yang belum diselesaikan.
”Sorry, kayanya hari ini obrolan kita sampai di sini dulu deh. Aku mau pulang karena masih banyak banget tugas yang harus diselesaikan! Kamu habis ini ga da kegiatan lagi?” tanya Rasti.
”Ga ada kok, habis ini aku langsung pulang. Oh iya, ga apa apa Ras, kamu pulang aja, selesaikan tugasnya yah! Hati-hati di jalan!” jawab Ran dengan senyumannya.
”OK. Thanks!” Kuraih tas ku yang ada di meja dan langsung meninggalkanfoodcourt tersebut. Belum sampai pintu keluar, terdengar suara yang memanggilku.
”Tunggu Ras!” teriak Ran sambil melambaikan tangannya.
Duh, apa lagi sih nih. Ngapain dia manggil aku lagi. Apa ada barangku yang ketinggalan, pikirku dalam hati.
”Mmm, Ras, boleh ga bareng sampe parkiran?” tanya Ran dengan tersipu malu.
”Ya ampuun Ran, kirain aku kenapa. Ya boleh lah. Yuk, sekalian. Aku juga mau ke parkiran”.
Akhir pertemuan itu, ada sesuatu yang terlupa olehku. Aku lupa meminta nomer telepon agar bisa berhubungan lagi. Tapi apa mau dikata, ia sudah pergi jauh dari hadapanku. Aku hanya berharap bertemu dia lagi.
Hatiku juga merasa aneh, kenapa begitu cepat aku merasakan getaran ini. Getaran yang sudah hampir dua tahun, aku tak merasakannya. Apa aku segampang ini menyukai seseorang? Ataukah ini adalah love at first sight? Entahlah aku tak tahu. Aku hanya menjalani saja perasaan ini. Kalau memang dia untukku, aku yakin pasti dipertemukan kembali. Kalau tidak, ya sudah. Pertemuan itu menjadi sebuah kenanganku di kesendirian tengah derasnya hujan.
Lagi-lagi rutinitas membuatku lupa akan segala hal yang dahulu terjadi. Aku pun mulai melupakan peristiwa singkat itu. Aku hanya ingin menjalani hidup ini dengan lurus-lurus saja. Bila memang aku sudah waktunya diberikan jodoh sama Tuhan, pasti aku tak akan mengelaknya.
 

~#@*♥PuChA♥*@#~ Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review