”Ish, aku jemput sebentar lagi. Tunggu di tempat biasa ya,” suara Nara terdengar dari telepon genggam Ishka. Seperti biasa, saat jam makan siang, Nara akan menjemputnya bersama Anne untuk makan siang di kafe langganan mereka.
Ishka menggeleng pelan tanpa melepas pandangannya dari layar monitor komputernya.
Ishka menggeleng pelan tanpa melepas pandangannya dari layar monitor komputernya.
“Maaf, hari ini tidak bisa. Deadline untuk majalah edisi depan sudah dekat, aku berencana untuk menyelesaikannya hari ini juga. Mungkin sampai lembur.”
Hening sejenak. Ishka bisa mendengar suara Anne bertanya pada Nara.
”Tapi kau harus tetap makan, ingat maag-mu.”
”Iya, aku sudah pesan sesuatu. Lagipula, begini lebih baik kan? Kalian jadi punya waktu untuk berdua saja,” kata Ishka setengah menggoda, walaupun sebenarnya dia tidak suka mengatakan hal itu.
Hening sejenak. Ishka bisa mendengar suara Anne bertanya pada Nara.
”Tapi kau harus tetap makan, ingat maag-mu.”
”Iya, aku sudah pesan sesuatu. Lagipula, begini lebih baik kan? Kalian jadi punya waktu untuk berdua saja,” kata Ishka setengah menggoda, walaupun sebenarnya dia tidak suka mengatakan hal itu.
”Ish?”
”Hmm?”
”Kalau kau tidak suka bekerja di tempat itu, kenapa tidak berhenti saja?”
Ishka mengalihkan matanya dari layar. Nara tahu Ishka tidak suka dia bekerja di tempatnya bekerja sekarang, sebuah perusahaan penerbit majalah wanita yang cukup populer. Namun dia tidak tahu apa alasannya. Dan Ishka juga tidak pernah bertanya.
”Aku suka kerja di sini.”
Hening lagi.
”Baiklah, aku telepon lagi sebelum kau pulang.”
”Eh, tidak usah, Nara…..” Belum sempat Ishka menyelesaikan kalimatnya, terdengar bunyi tuuuuut panjang. Nara menutup teleponnya.
Ishka menghembuskan napas panjang. Membayangkan dirinya meniup pelan-pelan segelas teh hangat yang digenggamnya, tersenyum mendengar cerita Anne tentang murid-murid di playgroup tempatnya bekerja, sambil menatap cermin besar yang berada di seberang tempat mereka biasa duduk dan memperhatikan Nara yang duduk di hadapannya. Hanya itu yang bisa dilakukan Ishka, memperhatikan bayangan laki-laki yang dikenalnya sejak kanak-kanak itu terpantul di cermin.
”Hmm?”
”Kalau kau tidak suka bekerja di tempat itu, kenapa tidak berhenti saja?”
Ishka mengalihkan matanya dari layar. Nara tahu Ishka tidak suka dia bekerja di tempatnya bekerja sekarang, sebuah perusahaan penerbit majalah wanita yang cukup populer. Namun dia tidak tahu apa alasannya. Dan Ishka juga tidak pernah bertanya.
”Aku suka kerja di sini.”
Hening lagi.
”Baiklah, aku telepon lagi sebelum kau pulang.”
”Eh, tidak usah, Nara…..” Belum sempat Ishka menyelesaikan kalimatnya, terdengar bunyi tuuuuut panjang. Nara menutup teleponnya.
Ishka menghembuskan napas panjang. Membayangkan dirinya meniup pelan-pelan segelas teh hangat yang digenggamnya, tersenyum mendengar cerita Anne tentang murid-murid di playgroup tempatnya bekerja, sambil menatap cermin besar yang berada di seberang tempat mereka biasa duduk dan memperhatikan Nara yang duduk di hadapannya. Hanya itu yang bisa dilakukan Ishka, memperhatikan bayangan laki-laki yang dikenalnya sejak kanak-kanak itu terpantul di cermin.
Bayangan itu buyar seketika saat Ishka teringat kembali tugas yang harus diselesaikannya. Layout untuk edisi depan yang sedari tadi dipelototinya tinggal menunggu finishing saja. Sudah dua kali Mbak Luna, koordinator bagian artistik tempat Ishka bergabung, merevisi rancangan yang diajukannya. Wanita yang jarang menampakkan ekspresi itu mengatakan Ishka tidak paham konsep dari majalah ini. Ishka tidak mengerti apa maksudnya.
Terlalu lama di depan komputer membuat matanya lelah. Dia berhenti sejenak untuk menutup mata dan memijit pangkal hidungnya. Ishka membuka mata, pandangannya terlihat kabur. Mungkin matanya masih lelah, pikirnya. Dipejamkan kembali kedua matanya untuk sesaat.
Saat Ishka berniat kembali meneruskan pekerjaannya, ia terkejut karena menyadari sepasang mata mengawasinya. Seorang gadis kecil yang kira-kira berumur belasan tahun muncul dari balik mejanya. Gadis itu tersenyum pada Ishka sambil menggoyang-goyangkan badannya. Rambut panjangnya yang dikuncir dua dan diikat dengan pita merah ikut bergoyang bersamanya.
”Adik cari siapa?”
Gadis itu tidak menjawab, dia hanya tersenyum menatap Ishka sambil terus mengoyang-goyangkan badannya.
”Tersesat?” tanya Ishka lagi.
Gadis itu tetap tersenyum tanpa berkata apapun. Ishka menggeser kursinya mendekatinya.
Terlalu lama di depan komputer membuat matanya lelah. Dia berhenti sejenak untuk menutup mata dan memijit pangkal hidungnya. Ishka membuka mata, pandangannya terlihat kabur. Mungkin matanya masih lelah, pikirnya. Dipejamkan kembali kedua matanya untuk sesaat.
Saat Ishka berniat kembali meneruskan pekerjaannya, ia terkejut karena menyadari sepasang mata mengawasinya. Seorang gadis kecil yang kira-kira berumur belasan tahun muncul dari balik mejanya. Gadis itu tersenyum pada Ishka sambil menggoyang-goyangkan badannya. Rambut panjangnya yang dikuncir dua dan diikat dengan pita merah ikut bergoyang bersamanya.
”Adik cari siapa?”
Gadis itu tidak menjawab, dia hanya tersenyum menatap Ishka sambil terus mengoyang-goyangkan badannya.
”Tersesat?” tanya Ishka lagi.
Gadis itu tetap tersenyum tanpa berkata apapun. Ishka menggeser kursinya mendekatinya.
”Nama Kakak, Ishka. Namamu siapa?”
”Pia. Salam kenal, Kak Ishka.” Akhirnya keluar sebaris kata dari bibir yang tidak berhenti tersenyum tersebut.
”Pia. Salam kenal, Kak Ishka.” Akhirnya keluar sebaris kata dari bibir yang tidak berhenti tersenyum tersebut.
Gadis itu mengintip layar monitor di depan Ishka.
”Kak Ishka sedang sibuk?”
”Ah, tidak, kok. Ini sudah hampir selesai.”
”Kalau begitu, Kakak bisa bantu Pia?” Dia kembali menatap Ishka sambil tetap tersenyum. “Pia kehilangan sesuatu. Tolong bantu Pia mencarinya.”
I
”Ah, tidak, kok. Ini sudah hampir selesai.”
”Kalau begitu, Kakak bisa bantu Pia?” Dia kembali menatap Ishka sambil tetap tersenyum. “Pia kehilangan sesuatu. Tolong bantu Pia mencarinya.”
I
shka terdiam sejenak. Matanya bergantian menatap gadis kecil bermata lebar itu dan pekerjaannya yang hampir rampung. Ishka menarik napas dalam kemudian menghembuskannya pelan. Dia balas tersenyum. Lagipula dia butuh istirahat sejenak.
”Boleh. Kita cari sekarang?”
Gadis itu tersenyum semakin lebar. Ishka beranjak dari kursinya kemudian menggenggam tangannya dan mereka berdua berjalan menyusuri deretan meja yang hingar bingar oleh kesibukan penghuninya.
”Apa yang hilang, Pia?” Ishka mengokuti gadis itu mengintip di kolong meja seseorang.
”Boleh. Kita cari sekarang?”
Gadis itu tersenyum semakin lebar. Ishka beranjak dari kursinya kemudian menggenggam tangannya dan mereka berdua berjalan menyusuri deretan meja yang hingar bingar oleh kesibukan penghuninya.
”Apa yang hilang, Pia?” Ishka mengokuti gadis itu mengintip di kolong meja seseorang.
”Sesuatu yang paling Pia sukai.”
”Apa itu?”
”Nanti kalau sudah ketemu, Kakak juga akan tahu.” Gadis itu menatap Ishka dengan mata berbinar dan senyum yang sama.
Setelah tidak menemukan apa yang dicari di ruangan itu, mereka keluar menyusuri lorong. Ishka masih menggandeng tangan gadis itu. Mereka mencari di beberapa ruangan di sepanjang lorong itu. Sebenarnya, gadis kecil itu yang mencari. Ishka hanya mengikutinya karena dia tidak tahu apa yang mereka cari.
”Apa itu?”
”Nanti kalau sudah ketemu, Kakak juga akan tahu.” Gadis itu menatap Ishka dengan mata berbinar dan senyum yang sama.
Setelah tidak menemukan apa yang dicari di ruangan itu, mereka keluar menyusuri lorong. Ishka masih menggandeng tangan gadis itu. Mereka mencari di beberapa ruangan di sepanjang lorong itu. Sebenarnya, gadis kecil itu yang mencari. Ishka hanya mengikutinya karena dia tidak tahu apa yang mereka cari.
”Benda itu pemberian seseorang? Orang tua Pia, ya?”
”Bukan, dari seorang teman.”
Selama hampir dua tahun bekerja di tempat itu, rasanya baru kali ini Ishka melihat ruangan-ruangan yang kini dijelajahinya bersama Pia.
”Pia datang kemari bersama Mama. Mama Pia bekerja di sini.”
”Oya? Siapa nama Mama Pia? Mungkin Kakak kenal?”
”Bukan, dari seorang teman.”
Selama hampir dua tahun bekerja di tempat itu, rasanya baru kali ini Ishka melihat ruangan-ruangan yang kini dijelajahinya bersama Pia.
”Pia datang kemari bersama Mama. Mama Pia bekerja di sini.”
”Oya? Siapa nama Mama Pia? Mungkin Kakak kenal?”
”Suatu hari nanti, Pia juga ingin bekerja di sini,” gadis itu berkata tanpa menjawab pertanyaan Ishka. ”Kak Ishka suka bekerja di sini?”
Mereka berdua sampai di depan ruangan paling ujung dari lorong itu.
Mereka berdua sampai di depan ruangan paling ujung dari lorong itu.
”Hmm, iya, Kakak suka. Sebenarnya Kakak suka menggambar. Kadang-kadang Kakak membuat ilustrasi untuk beberapa artikel.”
Ishka membuka pintu ruangan itu. Gelap, sekilas terlihat deretan rak-rak di sepanjang dinding. Ishka baru akan melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu ketika ia merasakan gadis kecil itu menarik tangannya.
”Tidak ada di sini.”
Ishka mengikuti gadis itu yang setengah menyeretnya kembali ke tempat di mana mereka pertama bertemu, ruangan di mana ia bekerja.
”Tidak ada di sini.”
Ishka mengikuti gadis itu yang setengah menyeretnya kembali ke tempat di mana mereka pertama bertemu, ruangan di mana ia bekerja.
”Eh, kita sudah mencari di sini, ’kan?”
Mereka berhenti di depan meja kerja Ishka. Komputer di atas meja tersebut masih menyala seperti ketika Ishka meninggalkannya tadi. Beberapa tumpukan buku dan kertas serta peralatan tulis setengah berantakan bertengger di atas meja.
”Di sini belum.” Gadis itu melongok ke kolong meja. Ishka mengikuti di belakangnya.
”Masak ada di sini? Memangnya barang Pia yang hilang itu apa?”
Gadis itu terlihat mengambil sesuatu dari sudut bawah meja yang gelap kemudian mendekapnya. Dia berbalik menatap Ishka masih dengan senyum mengembang.
Ishka memperhatikan benda yang ada di tangan Pia, sebuah buku sketsa bersampul warna merah muda yang terlihat sudah pudar. Sejurus kemudian, gadis itu menyodorkannya pada Ishka. Dia menerima buku itu dan membaca tulisan di sampulnya yang sepertinya ditulis tangan dengan pensil warna.
Nama: Ishka. Umur: 10 tahun. Alamat: …
Ishka terkejut mengetahui bahwa ia sangat mengenal buku sketsa tersebut. Dia membuka halaman demi halaman buku itu. Buku sketsa yang dimilikinya ketika masih di sekolah dasar. Di buku itu dia menggambar dan menulis sebuah cerita anak-anak. Ishka teringat kembali cita-citanya untuk menerbitkan buku cerita anak bergambar karangannya sendiri. Tokoh utama dari cerita bergambar yang pertama dibuatnya itu adalah seekor kelinci berwarna merah muda yang memakai pita merah di kedua telinganya. Nama kelinci itu Pia.
Ishka tertegun menyadari siapa gadis kecil yang mengaku bernama Pia yang saat ini berdiri di hadapannya. Gadis itu balas tersenyum penuh arti padanya.
Mereka berhenti di depan meja kerja Ishka. Komputer di atas meja tersebut masih menyala seperti ketika Ishka meninggalkannya tadi. Beberapa tumpukan buku dan kertas serta peralatan tulis setengah berantakan bertengger di atas meja.
”Di sini belum.” Gadis itu melongok ke kolong meja. Ishka mengikuti di belakangnya.
”Masak ada di sini? Memangnya barang Pia yang hilang itu apa?”
Gadis itu terlihat mengambil sesuatu dari sudut bawah meja yang gelap kemudian mendekapnya. Dia berbalik menatap Ishka masih dengan senyum mengembang.
Ishka memperhatikan benda yang ada di tangan Pia, sebuah buku sketsa bersampul warna merah muda yang terlihat sudah pudar. Sejurus kemudian, gadis itu menyodorkannya pada Ishka. Dia menerima buku itu dan membaca tulisan di sampulnya yang sepertinya ditulis tangan dengan pensil warna.
Nama: Ishka. Umur: 10 tahun. Alamat: …
Ishka terkejut mengetahui bahwa ia sangat mengenal buku sketsa tersebut. Dia membuka halaman demi halaman buku itu. Buku sketsa yang dimilikinya ketika masih di sekolah dasar. Di buku itu dia menggambar dan menulis sebuah cerita anak-anak. Ishka teringat kembali cita-citanya untuk menerbitkan buku cerita anak bergambar karangannya sendiri. Tokoh utama dari cerita bergambar yang pertama dibuatnya itu adalah seekor kelinci berwarna merah muda yang memakai pita merah di kedua telinganya. Nama kelinci itu Pia.
Ishka tertegun menyadari siapa gadis kecil yang mengaku bernama Pia yang saat ini berdiri di hadapannya. Gadis itu balas tersenyum penuh arti padanya.
”Pia suka cerita ini,” katanya kemudian berlari menghilang meninggalkan Ishka.
Ishka masih berdiri mematung berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi ketika tiba-tiba dering telepon selulernya mengagetkannya. Buku itu terjatuh dari tangannya.
Ishka tersentak kaget. Rupanya dia baru saja terbangun dari tidur. Lehernya terasa sakit dan tegang karena dia tertidur di atas meja di depan komputernya yang masih menyala. Ishka memandang berkeliling ruangannya. Masih ada beberapa orang yang terlihat sibuk di meja masing-masing dan beberapa terlihat mondar-mandir seperti sedang terburu-buru.
Ketika mencoba membetulkan posisi duduknya, kakinya terantuk sesuatu. Buku sketsa bersampul merah muda miliknya. Ishka teringat kembali mimpinya barusan. Masih setengah termenung, ia menyadari telepon selulernya berdering sedari tadi. Dari Nara.
”Sudah selesai? Aku jemput.”
”Eh?” Ishka mengalihkan matanya pada layar monitor di hadapannya. Kemudian matanya beralih kembali pada buku yang ada di tangannya. Senyum Ishka mengembang.
”Nara, masih ingat Pia?” Ishka teringat dia pernah menunjukkan buku sketsa itu pada Nara ketika mereka sama-sama di sekolah menengah.
Sesaat tidak ada balasan dari suara di seberang.
”Iya. Pia teman kita di sekolah dasar. Dulu kalian sangat dekat kan?”
”Eh?” Ishka tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Nara. Yang dia maksudkan sebenarnya adalah Pia, tokoh utama cerita anak-anak yang ditulisnya.
”Kau pernah menunjukkan buku cerita bergambar karanganmu yang kau buat di sekolah dasar, tentang seekor kelinci bernama Pia. Tapi ketika aku tanya darimana kau mendapat ide tentang cerita itu, kau bilang tidak ingat. Jadi, aku pikir kau sudah lupa dengan anak itu.”
Kepala Ishka terasa pening dan berputar-putar. Sekelebat bayangan muncul tiba-tiba memenuhi ingatannya.
Nara berbicara lagi.
Ishka masih berdiri mematung berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi ketika tiba-tiba dering telepon selulernya mengagetkannya. Buku itu terjatuh dari tangannya.
Ishka tersentak kaget. Rupanya dia baru saja terbangun dari tidur. Lehernya terasa sakit dan tegang karena dia tertidur di atas meja di depan komputernya yang masih menyala. Ishka memandang berkeliling ruangannya. Masih ada beberapa orang yang terlihat sibuk di meja masing-masing dan beberapa terlihat mondar-mandir seperti sedang terburu-buru.
Ketika mencoba membetulkan posisi duduknya, kakinya terantuk sesuatu. Buku sketsa bersampul merah muda miliknya. Ishka teringat kembali mimpinya barusan. Masih setengah termenung, ia menyadari telepon selulernya berdering sedari tadi. Dari Nara.
”Sudah selesai? Aku jemput.”
”Eh?” Ishka mengalihkan matanya pada layar monitor di hadapannya. Kemudian matanya beralih kembali pada buku yang ada di tangannya. Senyum Ishka mengembang.
”Nara, masih ingat Pia?” Ishka teringat dia pernah menunjukkan buku sketsa itu pada Nara ketika mereka sama-sama di sekolah menengah.
Sesaat tidak ada balasan dari suara di seberang.
”Iya. Pia teman kita di sekolah dasar. Dulu kalian sangat dekat kan?”
”Eh?” Ishka tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Nara. Yang dia maksudkan sebenarnya adalah Pia, tokoh utama cerita anak-anak yang ditulisnya.
”Kau pernah menunjukkan buku cerita bergambar karanganmu yang kau buat di sekolah dasar, tentang seekor kelinci bernama Pia. Tapi ketika aku tanya darimana kau mendapat ide tentang cerita itu, kau bilang tidak ingat. Jadi, aku pikir kau sudah lupa dengan anak itu.”
Kepala Ishka terasa pening dan berputar-putar. Sekelebat bayangan muncul tiba-tiba memenuhi ingatannya.
Nara berbicara lagi.
”Apa kau juga ingat, di sekolah dasar, kita pernah mendapat tugas untuk maju dan bercerita tentang cita-cita kita ketika dewasa?”
Ishka ingat itu. Itu pertama kalinya ia menunjukkan buku sketsa itu pada orang lain.
”Kau bercerita ingin menerbitkan buku cerita anak bergambar yang kau buat dan menunjukkan buku itu di depan kelas. Sedangkan Pia, berkata ingin menjadi seperti ibunya yang bekerja sebagai seorang editor di sebuah majalah wanita,” sambung Nara.
”Aku masih ingat karena waktu itu kau semangat sekali bercerita dan kurasa itu pertama kalinya kita mendengar kata ’editor’.” Ishka bisa mendengar suara tawa kecil milik Nara.
Sekarang Ishka bisa mengingat semuanya. Buku sketsa itu, kelinci yang memakai pita merah, gadis kecil bernama Pia, dan kecelakaan sepulang sekolah yang mereka alami.
”Kurasa kau juga ingat, Ibu Pia bekerja di tempat yang sama denganmu sekarang.”
Ishka terdiam.
”Karena itu, kupikir alasanmu tetap bertahan bekerja di tempat itu adalah karena Pia.” Kali ini suara Nara terdengar pelan.
Ishka merasakan sesuatu menyelimuti dadanya. Bukan hanya karena kenangannya akan Pia, tapi juga karena kata-kata laki-laki yang berbicara dengannya sekarang.
”Nara?”
”Hmm?”
Ishka ingat itu. Itu pertama kalinya ia menunjukkan buku sketsa itu pada orang lain.
”Kau bercerita ingin menerbitkan buku cerita anak bergambar yang kau buat dan menunjukkan buku itu di depan kelas. Sedangkan Pia, berkata ingin menjadi seperti ibunya yang bekerja sebagai seorang editor di sebuah majalah wanita,” sambung Nara.
”Aku masih ingat karena waktu itu kau semangat sekali bercerita dan kurasa itu pertama kalinya kita mendengar kata ’editor’.” Ishka bisa mendengar suara tawa kecil milik Nara.
Sekarang Ishka bisa mengingat semuanya. Buku sketsa itu, kelinci yang memakai pita merah, gadis kecil bernama Pia, dan kecelakaan sepulang sekolah yang mereka alami.
”Kurasa kau juga ingat, Ibu Pia bekerja di tempat yang sama denganmu sekarang.”
Ishka terdiam.
”Karena itu, kupikir alasanmu tetap bertahan bekerja di tempat itu adalah karena Pia.” Kali ini suara Nara terdengar pelan.
Ishka merasakan sesuatu menyelimuti dadanya. Bukan hanya karena kenangannya akan Pia, tapi juga karena kata-kata laki-laki yang berbicara dengannya sekarang.
”Nara?”
”Hmm?”
”Terima kasih.”
Terima kasih juga, Pia.
Terima kasih juga, Pia.